Observasi Bea Dan Cukai
01.14 |
|Observasi Ke Bea Dan Cukai
Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai
Sejarah Singkat[sunting | sunting sumber]
Sistem bea dan cukai telah dipraktikkan dari masa dahulu oleh kerajaan-kerajaan di kepulauan Indonesia. Pada masa kesultanan-kesultanan Islam, dikenal jabatan syahbandar dan bendahara yang bertugas memungut bea atas barang-barang yang diperdagangkan di pelabuhan. Di Mataram, dikenal gerbang-gerbang cukai di pedalaman yang untuk dapat melintasinya, dipungut iuran tertentu.
Kepabeanan pada masa VOC dimulai saat Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengundangkan tarif bea masuk yang pertama di Batavia pada tanggal 1 Oktober 1620. Pada masa pemerintah Hindia Belanda, didirikan De Dienst der Invoer en Uitvoer Rechten en Accijnzen (I.U&A), sebuah jawatan di bawah Departemen Keuangan.
Pada masa ini, tidak hanya kepabeanan saja yang diurus oleh Dinas I.U&A, melainkan juga cukai. Petugas bea-cukai pada masa ini dikenal sebagai douane, mantriboom, atau tolenaar.
Pada masa pemerintahan Jepang, pulau Jawa dan Madura di bawah kendali pemerintahan militer Angkatan Darat (Gun) Kekaisaran Jepang ke-16 dengan ibu kota di Jakarta. Sementara di Sumatera oleh AD Kekaisaran Jepang ke-25. Pulau-pulau lainnya di bawah pemerintahan Kaigun (Angkatan Laut) Kekaisaran Jepang dengan ibu kota di Makassar. Untuk Jawa dan Madura, pemerintahan Jepang yang disebut Gunseikanbu mengeluarkan Osamu Serei (Undang-Undang) Nomor 13 tahun 1942 yang dalam Pasal 1 angka 2-nya disebutkan bahwa “untuk sementara waktu bea tidak usah diurus”. Pada saat itulah kegiatan kepabeanan dibekukan, sehingga hanya cukai saja yang dijalankan.
Cukai berada satu bagian dengan jawatan pajak pemerintahan Jepang di bawah departemen keuangan yang bernama Zaimubu. Sebagian pegawai bea dan cukai Indonesia zaman Belanda pada masa ini disalurkan ke jawatan pelabuhan. Sementara itu, tidak diketahui bagaimana kebijakan kepabeanan dan cukai di Sumatera dan wilayah lainnya. Meskipun besar kemungkinan, urusan kepabeanan juga dibekukan mengingat saat itu terjadi blokade internasonal terhadap perdagangan luar negeri Jepang.
Model Zaimubu di Jawa dan Madura inilah yang diadopsi oleh para pendiri bangsa ketika merumuskan bentuk Departemen Keuangan setelah proklamasi. Bentuk ini baru dirumuskan setelah 25 September 1945 setelah pengangkatan A.A. Maramis sebagai Menteri Keuangan. Karena mengadopsi Zaimubu, wajar jika pada awalnya urusan kepabeanan tidak diikutsertakan. Setelah itu mulai tanggal 1 November 1945, urusan Bea masuk Departemen Keuangan bagian Pajak.
Pada tahun 1946, Pejabatan Pajak direorganisasi menjadi tiga pejabatan: Pajak, Pajak Bumi, dan Bea dan Cukai. Di saat inilah istilah Pejabatan Pajak baru dapat dianalogikan dengan Ditjen Pajak sekarang ini, karena tidak lagi membawahkan pajak, bea dan cukai, serta pajak bumi. Saat itulah Bea dan Cukai menjadi unit eselon I di bawah Menteri Keuangan.
Setelah reorganisasi terjadi, Menteri Muda Keuangan, Mr. Sjafruddin Prawiranegara menunjuk Mr. R.A. Kartadjoemena sebagai Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama yakni pada tanggal 1 Oktober 1946. Pada saat itulah, tanggal 1 Oktober 1946 diyakini sebagai hari lahirnya Bea Cukai Indonesia.
Lembaga[sunting | sunting sumber]
Dari segi kelembagaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang direktur jenderal yang setara dengan unit eselon 1 yang berada di bawah Kementerian Keuangan Indonesia, sebagaimana juga Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan lain-lain.
Tugas dan fungsi[sunting | sunting sumber]
Tugas dan fungsi DJBC adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPNImpor, PPh Pasal 22, PPnBM) dan cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk di dalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.
Selain itu, tugas dan fungsi DJBC adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, mengawasi peredaran minuman yang mengandung alkohol atau etil alkohol, dan peredaranrokok atau barang hasil pengolahan tembakau lainnya. Seiring perkembangan zaman, DJBC bertambah fungsi dan tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.
Ruang Rapat Kantor Bea Dan Cukai
Fenida Fitri
AP.202
0 komentar:
Posting Komentar